Senin, 22 Juli 2013

Mari Melihat Sisi Power Kita.....

Jumat pagi. Murid saya yang satu ini memang super sibuk. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa meluangkan waktu untuk bertemu lagi dan belajar bersama. Ini adalah pertemuan kami yang ke dua. Ia adalah seorang manajer di salah satu perusahaan retail yang cukup besar di Sidoarjo. Dengan bahasa Inggris yang lancar, walaupun dengan aksen Sidoarjo yang kental (tentu karena dia orang Sidoarjo), ia menceritakan salah satu alasan utama mengapa ia mengambil les privat yang saya lakukan. Tentu setelah saya bertanya (dalam bahasa Inggris), “Ibu bahasa Inggrisnya lancar sekali. Kenapa ibu merasa perlu kursus?”
Alkisah saat ini ia dipimpin oleh seorang bos baru. Seorang perfeksionis berkebangsaan Inggris. Selain perfeksionis, ia dikenal kerap kali mengoreksi bahasa Inggris karyawan atau bawahannya di depan karyawan lain. Hal ini yang membuat banyak karyawan takut berbicara di depannya. Bukan karena mereka tidak bisa. Tapi karena mereka takut salah dan takut dipermalukan di depan umum. Ini lah alasan mengapa ia (yang sebenarnya sudah memiliki ketrampilan berbicara dalam bahasa Inggris yang cukup baik) tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri. Belum lagi ditambah ia baru saja kehilangan anak-anak kesayangannya karena sakit.
Dengan kritis saya langsung berpikir, “Saya yakin pasti bos murid saya ini frustasi kalau memang benar bawahannya tidak memiliki ketrampilan bahasa Inggris yang cukup untuk memungkinkan komunikasi terjadi dengan lancar. Tapi sebagai seorang penutur asli, apa iya ia sekejam itu dan tidak memaklumi kalau bahasa Inggris bukan bahasa utama (bahkan ke dua) kita?” Pada kenyataannya memang banyak orang yang memaklumi keadaan ini. Dengan lemah lesu dan tidak bertenaga murid saya menyelesaikan ceritanya. Otak saya langsung berkata, “Saya tidak bisa membiarkan dia pulang dari sini merasa rendah diri.”
Lalu saya pun berkata pada ibu ini (tentu – lagi – dalam bahasa Inggris):
“Bu, Anda lebih pintar daripada bos Anda. Kenapa? Coba bayangkan. Ibu menguasai setidaknya 3 bahasa, bahkan termasuk bahasa yang sama sekali bukan milik (kebudayaan dan asal muasal) ibu, bahasa Inggris. Ibu bisa bahasa jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Ibu sudah mengalami banyak proses (pemerolehan bahasa) yang tidak dialami bos ibu. Sejak ibu kecil hingga sekarang (ibu ini sudah separuh baya). Coba bayangkan lagi. Bos ibu mungkin lahir dan besar di Inggris. Menikah, tinggal, dan berinteraksi dengan sesama penutur asli bahasa Inggris. Sementara ibu? Ibu belajar, berusaha sampai akhirnya bisa 3 bahasa. Sementara dia tidak. Lihatlah prestasi yang telah ibu capai. Lain kali jika ia mengoreksi ibu, katakan terima kasih padanya. Tapi ingat, proses yang telah ibu lalui membuat ibu jauh lebih unggul daripada dia. Katakan dalam hati, ‘I’m much better than you.’ Dengan begitu ibu akan selalu merasa tenang.”
Saya mengakhiri kalimat terakhir dan murid saya terlihat sedikit berkaca-kaca sambil mengangguk-angguk pasti. “Iya, ya… You are right,” ujarnya. Ada secercah harapan dalam pandangan matanya yang tadinya sempat layu. Di akhir pertemuan kami ia pun melangkah pulang dengan lebih semangat.
Sering kali kita menganggap remeh kekuatan yang kita miliki sendiri. Saya tidak tahu apakah ini hasil penjajahan selama lebih dari 300 tahun atau lebih hingga saat ini, tapi kita seharusnya tidak menempatkan diri sebagai warga dunia kelas 2, 3, dan seterusnya. Apalagi ketika berhubungan dengan penguasaan bahasa. Bayangkan orang-orang asing datang ke Indonesia melihat orang Indonesia berbahasa Inggris. Tidakkah itu sesuatu yang menakjubkan? Sementara kita ke negara mereka, tidak ada sedikit pun yang berbahasa Indonesia (kalaupun ada jumlahnya tidak sebanyak penutur bahasa Inggris di Indonesia).
Jadi, tolong, kalau sekarang Anda sedang belajar bahasa Inggris, jangan dulu merasa down atau rendah diri. Hargai dan rayakanlah usaha dan kerja keras Anda. Tidak banyak dari penutur asli bahasa Inggris yang tertarik belajar atau menguasai bahasa lain selain bahasa ibu mereka. Percayalah, bahkan yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris (di Indonesia khususnya). Atau bahkan yang telah lama tinggal di Indonesia pun masih banyak yang ogah-ogahan untuk bisa menguasai bahasa tempat ia berpijak. Jadi jika Anda tertarik mempelajari bahasa yang bukan bahasa ‘asli’ Anda, bukankah ini hal yang menakjubkan? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar